Sulap Limbah Jadi Patung, Ekspor ke Jepang

KAYU kelengkeng yang sudah terpakai, oleh masyarakat kebanyakan warga digunakan untuk bahan baku pembuatan. Namun tidak demikian dengan apa yang dilakukan warga Dusun Gelaran, Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Kayu-kayu kelengkeng tersebut ternyata dapat menghasilkan pendapatan besar, yaitu dengan dijadikannya menjadi kerajinan dengan nilai seni tinggi.

Salah seorang pengrajin, Aries (48), ketika ditemui Harsem menjelaskan, dirinya mengaku merupakan satu-satunya warga Kenteng yang mengubah limbah kayu kelengkeng menjadi kerajinan. Dari tangan kreatifnya, kayu-kayu yang sudah tidak dipakai lagi dibuat patung, hiasan dinding hingga perabotan rumah tangga. Ditambahkan, dia menggeluti kerajinan dari limbah kayu kelengkeng ini sudah sejak 10 tahun lalu. Ketika itu melihat banyaknya kayu kelengkeng di Bandungan yang terbuang sia-sia bahkan hanya dibuat untuk areag saja. Dari sinilah akhirnya, dirinya memutar otak untuk menggeluti usaha kerajinan dari limbah kayu kelengkeng. “Dari menekuni usaha kerajinan ini, akhirnya saya mendapatkan penghasilan.

Bahkan, banyak orang yang akhirnya tertarik dengan hasil karyanya itu. Untuk mendapatkan kayu kelengkeng itu, saya harus keliling ke masyarakat yang mempunyai limbah kayu kelengkeng di sekitar Bandungan. Mudah mencari kayu kelengkeng itu, karena Bandungan penghasil kelengkeng,” jelasnya. Menurutnya, dirinya hingga sekarang ini belum pernah mengalami kehabisan bahan baku. Sekarang sudah banyak warga yang mendatangi tempat usahanya untuk menawarkan limbah kayu kelengkeng. Limbah kayu ini, oleh pemiliknya sebelum saya ambil sebagian besar justru diantarkan ke tempat usahanya untuk dibeli. Bukan hanya, penjual kayu kelengkeng tetapi para pembeli kerajinannya sekarang juga banyak yang datang ke tempat usahanya. Ditambahkan, awalnya pihaknya merasa kesulitan untuk mendapatkan limbah kayu kelengkeng tersebut.

Hal itu terkait dengan modal usaha. Pihaknya juga mengaku jika dalam menekuni usaha itu tidak pernah mengandalkan pinjaman dari bank. Modal miliknya dari hasil menabung sedikit demi sedikit serta dengan niat yang tulus berusaha. Ppemasaran awalnya menjadi kendala, namun kini sirna dengan sendirinya.

Konsumen sekarang banyak yang datang langsung membeli kerajinan miliknya. Beberapa tahun ini, hasil kerajinannya telah dikirimkan keluar negeri, di antaranya Jepang dan Austria. “Kalau melihat hasil karya saya ini, banyak orang tertegun. Begitu pula, pihak Pemkab Semarang telah mengetahui usaha yang saya geluti ini. Namun, uluran tangan untuk memberikan bantuan modal hingga sekarang juga tidak pernah ada wujudnya,” jelasnya. Namun, menurut dia, hal itu tak menjadi masalah. “Tanpa campur tangan pemerintah, saya masih tetap bisa bertahan menggeluti usaha kerajinan limbah kayu kelengkeng ini,” jelasnya.

Sumber : Harian Semarang

Liping, miniatur unik kehidupan manusia sehari-hari

Rongsokan, bisa berarti barang tak terpakai, sampah, atau benda-benda yang sudah tidak memiliki nilai ekonomi lagi. Apakah semua rongsokan tak bernilai? Nanti dulu, Maryono memiliki cara meningkatkan nilai ekonomisnya. Lelaki kelahiran Solo ini juga memiliki cara yang sederhana untuk mencari nafkah. Ia membuat seni liping, yaitu seni yang memadukan antara seni patung dan dekoratif ini dengan bahan-bahan campuran, bisa berupa batu, kerikil, bambu atau sampah-sampah yang tidak terpakai di sekitar rumahnya, termasuk rumput-rumput kering dan dedaunan yang jatuh ditepa angin.

“Pokoknya apa saja yang saya temui saya upayakan dapat digunakan sebagai materiil karya seni,” ujar lulusan STM ini. Tentu anda bisa membayangkan bahan-bahan sampah jika menjadi karya seni harganya tentu naik berkali-kali. Bahan-bahan tersebut menurut Maryono tak susah mencarinya. Tinggal bagaimana ia mengkreasikan mau dibuat seperti apa.

Suatu hari Maryono mampu menjual karyanya sebesar Rp50ribu hingga Rp500ribu per buah. Penggemarnya para kolektor seni, atau setidaknya orang-orang yang memahami seni untuk mempercantik dinding rumahnya. Lihatlah pengakuannya. Tahun 2004 ketika ia memulai usaha, omzetnya sudah mencapai Rp30juta per tahun. Tahun 2005 omzetnya naik menjadi 70juta per tahun, dan tahun 2007 dan 2008 rata-rata sudah mencapai Rp150juta per tahun.

Tentu bukan cara yang mudah untuk mencapai ini semua. Ada mimpi, ketekunan, kerja keras, dan ikhtiar yang besar yang dilakukannya hingga mencapai semua ini. Anda bisa. Tentu saja bisa sepanjang anda mau melakukannya. Jika ia dalam sehari, dibantu karyawannya kini mampu memproduksi tak kurang dari 100 buah kerajinan liping dalam sehari, tentu omzetnya sudah bisa dihitung. Seni liping adalah sebuah karya sederhana tentang hal-hal sederhana yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ini bukti bahwa bisnis bukan urusan yang rumit dan njlimet.

Kerajinan ini berbentuk miniatur aktivitas warga sehari – harinya yang disebut liping. Salah satu kreasi Bejo Wage, warga Jalan Kencur, Tenggosari Lowoyan, Solo adalah papan permainan catur.

Kreasi ini cukup unik karena seluruh bidak catur berupa miniatur pasukan perang. Point berupa miniatur dari prajurit kerajaan yang terdiri dari pasukan panah dan pasukan anti huru – hara, lengkap dengan pakaian keprajuritan.

Demikian juga dengan menteri, pasukan berkuda, benteng, patih dan raja atau ratu. Bahan dasar miniatur unik ini adalah kayu pinus. Untuk membuat karya seperti ini memang tidak hanya dibutuhkan keterampilan tapi juga ketelitian, sebab ukuran miniatur tergolong kecil sehingga harus benar – benar konsentrasi.

Selain miniatur bidak catur, karya lain yang juga mengagumkan adalah miniatur pagelaran wayang kulit. Bejo menyajikan miniatur ini secara lengkap, mulai dalang, waranggana serta para penabuh gamelan, seperti gong, bonang, pemain rebab, suling dan gambang.

Menurut Bejo, kreasinya ini disebut kerajinan liping, yang merupakan pelesetan dari kata living. Sebab semua karyanya bercerita tentang kehidupan sehari – hari masyarakat tradisional, misalnya petani membajak sawah, mengembala bebek, orang menimba air disumur atau orang yang sedang kerokan.

Bejo mengaku usaha kerajinan ini dirintisnya sejak tahun 2002, namun baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Selain Solo, kerajinannya dipasarkan ke Yogyakarta, Semarang, Jakarta dan Bali dengan harga dari mulai 25 ribu rupiah hingga 2 juta rupiah tergantung tingkat kerumitannya.

Sumber : kabarsoloraya.com

Kerajinan Diorama Bambu Ngarsopuro

Jika Anda penyinta seni kerajinan, tentunya tak akan asing dengan sentra-sentra kerajinan di Kota Solo. Salah satunya Night Market Ngarsapura.

Saat bermalam Minggu di sana, tentu Anda akan menjumpai beragam kerajinan khas Kota Bengawan. Sejumlah cindera mata unik yang ditawarkan sudah barang tentu akan menggoda hasrat untuk memilikinya.

Begitu pula dengan salah satu kerajinan artistik yang diberi label “Lugoet Bamboo Art”. Kerajinan yang satu ini memang cukup memiliki daya tarik lantaran keunikannya. Dibuat dari sampah lingkungan, kerajinan berupa diorama ini mampu menggambarkan secara detil suasana yang ingin ditampilkan perajinnya.

Berbahan dasar bambu, daun kering maupun barang-barang bekas yang tak terpakai, Lugoet Bamboo Art mampu memikat penyinta seni kerajinan bukan hanya dari Solo. Diakui pembuatnya, Gringsing Ibnu Handoko, peminat kerajinan diorama bambu selain dari Solo juga dari kota-kota lain, seperti Surabaya, Jakarta dan Bandung.

Tema yang ditampilkanpun bermacam-macam, namun tak lepas dari suasana Kota Solo. Inung, sapaan akrab Handoko, mampu membangkitkan kembali suasana Solo tempo dulu yang kental dengan nuansa kesederhanaan. Justru tema-tema inilah yang menurutnya lebih banyak diminati konsumen.

Berbekal pengalamannya sebagai pedagang hik alias angkringan selama tiga tahun, rupanya memberi kesan kuat pada hasil karyanya. Diorama yang ia buat lebih banyak menonjolkan sisi-sisi kehidupan malam. Banyak karyanya yang mengangkat suasana pos ronda, suasana di tempat wedangan, warung malam dan kehidupan malam lainnya.

Guna memberi kesan lebih hidup, Lugoet Bamboo Art juga dilengkapi dengan lampu yang bisa dinyalakan dan dimatikan. Bahkan, agar pelanggan dapat terhanyut ke dalam suasana diorama, Inung pun menyelipkan irama musik pada hasil karyanya.

Lugoet Bamboo Art ditawarkan Inung mulai dari harga Rp 60 ribu hingga Rp 1,5 juta. Memang, jika di tangan orang berbakat sampahpun bisa diubah menjadi emas. “Impian saya, suatu saat punya karya bagus dan punya galeri,” kata Inung, kepada Timlo.net, di kediamannya, beberapa waktu lalu.

Sumber : Timlo.Net

Lukisan Pelepah Pisang Karya Pak Moel Bandung

Apa yang dilakukan Ade Mulyana, sangatlah langka. Untuk menyalurkan hasrat melukisnya, Moel, demikian sapaan akrabnya, tidak menggunakan kanvas atau cat. Tapi dia memilih bahan baku yang sangat tidak biasa yaitu pelepah batang (gedebog) pisang.

Pria berusia 64 tahun ini memanfaatkan pelepah pisang sejak puluhan tahun lalu. Dituturkan kakek enam cucu ini, dirinya mulai menekuni melukis dengan pelepah pisang sejak masih lajang sekitar tahun 1969.

“Saya suka corat-coret, menggambar, tapi saya ingin buat yang beda dengan pelukis lain dengan tidak menggunakan cat,” ujar Warga Jalan Amir Machmud Gang PGRI Cimahi ini.

Moel menuturkan inspirasi untuk menjadikan pelepah pisang sebagai bahan baku tidak datang begitu saja. Di tahun 1969, dia dan beberapa kawan melakukan perjalanan ke Gunung Burangrang. Dari situlah menurut Moel, Tuhan memberikannya petunjuk tentang apa yang harus dia lakukan.

“Saat saya pulang menuruni gunung, kaki saya terkilir, karena sakit saya istirahat. Saat istirahat saya menemukan begitu banyak pohon pisang di kaki bukit dan sehelai pelepahnya kemudian saya pungut, dari sanalah ide muncul. Kaki saya yang sakit pun tidak sakit lagi saking senangnya,” ungkap lulusan Akademi Administrasi Negara ini.

Moel pun memulai eksperimennya. Kala itu di sebelah rumahnya terhampar kebun sehingga memudahkan dirinya untuk mendapatkan pelepah pisang. Pelepah pisang disamak terlebih dahulu. Untuk gedebog yang masih muda dan berwarna hijau setelah dikelupas lapisan per lapisannya lalu dikukus selama satu jam menggunakan bahan-bahan pengawet seperti gambir, tembakau, daun sirih, kapur sirih, garam juga kayu manis.

“Setelah itu dikeringkan selama empat hari tapi tidak di bawah sinar matahari langsung,” ujarnya.

Bermodalkan lem dan alas yang terbuat dari hard board, Moel menyobek-nyobek pelepah menjadi bagian-bagian kecil dan menempelkannya ke atas hard board.

Padahal, menurut Moel, awal bereksperimen dirinya cukup nekat juga. Lem yang digunakan cukup keras dan harus dicairkan lebih dulu. Lem tersebut lebih mudah diaplikasikan dalam kondisi cair dan panas.

“Kalau dingin bisa mengeras kembali. Saya pun nekat pakai sampai beberapa jari melepuh karena panasnya,” tutur Moel.

Kemudian Moel menggunakan potongan bambu untuk membantu mengoleskan tapi membuatnya tidak puas. Moel pun tidak menyerah, rasa bahagianya membuat dia terus berjuang dengan jari-jarinya.

Tahun 1971, dia baru bisa menjual karyanya. Saat itu dijual dengan harga Rp 8.500. Karya yang dijual adalah karya kedua, sedangkan karya pertamadisimpan Moel untuk kenang-kenangan. “Saat itu karena masih awal, karya baru bisa selesai dalam 1-2 bulan,” ujarnya.

Seiring waktu, Moel pun mengganti hard board dengan triplek. Kemampuannya dalam merangkai pelepah pisang jadi lukisan kian terampil. Waktu yang diperlukan untuk membuat satu lukisan kian pendek.

Sampai kini, di usianya yang sudah lanjut Moel masih terus berkarya. Sebuah saung kecil di depan rumah sederhananya dia jadikan sebagai studio. Saat ditanya sampai kapan akan berkarya? “Sepanjang hayat,” jawab Moel pendek.

Sumber : detikBandung

Lukisan Serbuk Gergaji

Bagi kebanyakan orang, serbuk gergaji atau grajen lebih sering dianggap sebagai barang buangan. Status ekonominya tidak lebih dari limbah industri kayu atau paling tinggi sebagai media tanam untuk budi daya jamur. Namun siapa sangka grajenbisa dijadikan media lukisan di atas kanvas.

“Dulu saya pernah mau membeli grajen dari sebuah penggergajian kayu. Jumlahnya lumayan banyak, satu sak. Tapi pemiliknya malah bilang, ‘dibawa pulang saja’,” kata Sutrisno alias Tresno Arti, pelukis yang menekuni pembuatan karya seni dari grajen.

Dulu Tresno adalah seorang pengrajin berbagai suvenir seperti kotak pensil, bingkai foto dan barang-barang fungsional lainnya. Di tangannya, barang-barang tersebut dibuat dengan sentuhan yang berbeda dengan produk tangan orang lain. Kerajinannya menjadi khas karena faktor grajen, limbah kayu yang semula tidak dihargai oleh banyak orang. Hampir seluruh kerajinannya saat itu berasal dari bahan kertas namun permukaannya ditutup dengan lapisan grajen yang tebal.

Produk kerajinannya tergolong berhasil diterima pasar namun setelah tiga tahun lamanya dia merasa butuh tantangan baru. Sejak setahun lalu, dia mencoba membuat sesuatu yang baru dan belum pernah dibuat oleh pengrajin mana pun. Jenuh dengan membuat benda-benda kecil, lulusan Desain Grafis UNS ini mencoba melukis. Namun sekali lagi lukisannya tak jauh-jauh dari bubuk gergaji kayu.

“Dulu orang sempat sangsi dengan lukisan grajen, apakah nanti tidak berjamur. Tapi nyatanya memang tidak begitu,” katanya.

Keraguan orang memang sudah terjawab lewat berbagai karya yang dihasilkan dari serbuk grajen ini. Meskipun teknik pembuatan lukisan ini belum pernah populer, Tresno telah membuktikan bahwa kreativitas baru ini bisa diterima oleh khalayak. Tresno tampak percaya diri dengan karyanya dan terus menghasilkan karya baru setiap pekan tanpa menunggu pesanan datang. Hasilnya dia bawa ke Pasar Malam Ngarsapura setiap akhir pekan.

Hasil akhir lukisannya memang sudah tidak menampakkan wujud asli grajen yang digunakan meskipun warnanya masih seperti serbuk kayu. Grajen membuat lukisan tampak timbul dan menimbulkan kesan tiga dimensi. Kesan tiga dimensi itu makin kuat dengan hadirnya beberapa unsur yang dibuat dari akar wangi, seperti manusia, becak, tiang, gubuk, rumah dan pepohonan.

“Itu hasil dari eksplorasi yang terus-menerus. Kalau saya menyebut ini aliran impresionis, soalnya saya mengandalkan kontras warna,” terang Tresno. Kontras warna memang menjadi andalannya. Hal ini bukan tanpa alasan karena sifat grajen yang hanya memiliki satu warna. Artinya, Tresno hanya bisa mengandalkan grajen untuk menunjukkan gelap terang sebuah objek. Objek lukisannya pun tampak menyesuaikan diri. Lukisannya lebih banyak bercerita tentang kampung, gubuk, Solo tempo dulu dan objek klasik lainnya. Grajen menuangkan warna kayu yang memperkuat kesan kuno dan klasik pada objek-objek itu.

Sumber : www.solopos.com

Kaligrafi Dari Pelepah Pisang

Sebagian orang mungkin menganggap pelepah pisang tak punya manfaat. Padahal dengan sedikit sentuhan seni, seniman bisa menyulap pelepah pisang menjadi lukisan kaligrafi yang unik dan bernilai tinggi. Beberapa perajin yang memanfaatkan pelepah pisang menjadi lukisan kaligrafi ini pun menangguk omzet hingga puluhan juta setiap bulan.

Tanah Indonesia yang subur, cocok bagi pertumbuhan beragam tanaman. Tak terkecuali tanaman pisang. Selain diambil buah dan daunnya, pohon pisang juga bisa menghasilkan karya seni bernilai tinggi. Yakni, dengan memanfaatkan pelepah pisang menjadi bahan lukisan kaligrafi.

Adalah Suhendra Suharto, salah satu seniman yang menggunakan pelepah pisang sebagai bahan baku lukisan kaligrafinya. Pria 41 tahun asal Bogor ini mulai membuat kaligrafi dari pelepah pisang sejak 2007 lalu. “Selain mengurangi sampah, penggunaan pelepah pisang bisa menjadi sumber penghasilan,” tegas Suhendra yang memberi merek kaligrafinya Cahaya Ilahi.

Menurut Suhendra, lukisan kaligrafi dari pelepah pisang terlihat lebih indah karena memiliki kesan tiga dimensi. Selain kesan alami yang menonjol, lukisan ini akan tampak lebih nyata bila dipandang.

Tak heran, harga lukisan kaligrafi ini lumayan mahal. Suhendra membanderol lukisan kaligrafinya mulai dari harga Rp 600.000 hingga Rp 2,5 juta, tergantung ukurannya.

Dalam sebulan, ia bisa menjual antara 20 hingga 25 lukisan. Dari kerajinan ini, Suhendra bisa menangguk omzet Rp 25 juta dengan untung berkisar 20%-25%.

Konsumen kaligrafi Suhendra berasal dari kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan hingga Medan. Ia juga mulai mengirim ke Malaysia dan Singapura sejak tahun lalu meski belum secara rutin.

Untuk menarik konsumen, Suhendra juga melayani pemesanan ayat atau surat dalam Al Quran dari pelepah pisang. Biasanya, pesanan ini memiliki harga khusus, sesuai dengan tingkat kerumitan dan ukurannya. “Rata-rata lebih mahal 15% hingga 30%,” ujar Suhendra.

Ia mengumpulkan bahan baku dari pengumpul pelepah pisang di sekitar Bogor. Pelepah pisang itu kemudian dijemur untuk meniadakan kandungan air. Setelah kering, pelepah diremas-remas agar mudah dibentuk dan kemudian ditempel dengan lem di media lukisan, yakni papan tripleks.

Lukisan kaligrafi yang sudah selesai kemudian dilapisi dengan vernis. Dengan pelapisan tersebut, Suhendra menjamin lukisannya mampu bertahan hingga 20 tahun.

Seniman yang juga membuat kaligrafi dari pelepah pisang adalah Budie Setiawan. Sejak 1996 silam, Budie yang juga asal Bogor ini telah mendalami kerajinan ini.

Tak hanya kaligrafi, Budie juga mengerjakan berbagai macam objek gambar yang dirangkainya dari pelepah pisang yang telah mengering.

Ia mendapat inspirasi kerajinan tersebut dari sang kakak yang telah membuat kerajinan pelepah pisang sejak tahun 1986. “Saya tertarik karena saat itu kerajinan tersebut masih langka,” ujar Budie. Ketika mengawali usaha lukisan ini, Budie hanya bermodal duit sebesar Rp 500.000 saja.

Kini, Budie di studio kaligrafi dengan merek Debog Art di Cibadak, Sukabumi, bersama tiga pekerja banyak mengerjakan pesanan lukisan kaligrafi. Ia mengerjakan satu lukisan pelepah pisang ini dengan waktu dua hari hingga satu minggu. “Saya menghasilkan antara 10 hingga 20 lukisan kaligrafi dalam sebulan,” ujarnya. Namun, jika ada pameran, Budie akan menyiapkan lukisan pelepah pisang ini hingga ratusan buah dalam sebulan.

Dengan mengikuti berbagai macam pameran tersebut, ia mengaku bisa menambah penjualan karyanya. Jika dalam bulan-bulan biasa, ia bisa mendapatkan omzet hingga Rp 8 juta, jika memajang karyanya di pameran, omzetnya pun bisa berlipat hingga Rp 15 juta.

Itulah sebabnya, Budie pun aktif mengikuti pameran, seperti InaCraft, Pekan Raya Jakarta (PRJ), serta juga pameran di beberapa mal di wilayah Jabodetabek. Harga yang ia patok berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 3 juta per unit. “Harganya tergantung ukuran dan tingkat kesulitan,” ujar Budie.

Sumber : Kontan.co.id