Lukisan Serbuk Gergaji

Bagi kebanyakan orang, serbuk gergaji atau grajen lebih sering dianggap sebagai barang buangan. Status ekonominya tidak lebih dari limbah industri kayu atau paling tinggi sebagai media tanam untuk budi daya jamur. Namun siapa sangka grajenbisa dijadikan media lukisan di atas kanvas.

“Dulu saya pernah mau membeli grajen dari sebuah penggergajian kayu. Jumlahnya lumayan banyak, satu sak. Tapi pemiliknya malah bilang, ‘dibawa pulang saja’,” kata Sutrisno alias Tresno Arti, pelukis yang menekuni pembuatan karya seni dari grajen.

Dulu Tresno adalah seorang pengrajin berbagai suvenir seperti kotak pensil, bingkai foto dan barang-barang fungsional lainnya. Di tangannya, barang-barang tersebut dibuat dengan sentuhan yang berbeda dengan produk tangan orang lain. Kerajinannya menjadi khas karena faktor grajen, limbah kayu yang semula tidak dihargai oleh banyak orang. Hampir seluruh kerajinannya saat itu berasal dari bahan kertas namun permukaannya ditutup dengan lapisan grajen yang tebal.

Produk kerajinannya tergolong berhasil diterima pasar namun setelah tiga tahun lamanya dia merasa butuh tantangan baru. Sejak setahun lalu, dia mencoba membuat sesuatu yang baru dan belum pernah dibuat oleh pengrajin mana pun. Jenuh dengan membuat benda-benda kecil, lulusan Desain Grafis UNS ini mencoba melukis. Namun sekali lagi lukisannya tak jauh-jauh dari bubuk gergaji kayu.

“Dulu orang sempat sangsi dengan lukisan grajen, apakah nanti tidak berjamur. Tapi nyatanya memang tidak begitu,” katanya.

Keraguan orang memang sudah terjawab lewat berbagai karya yang dihasilkan dari serbuk grajen ini. Meskipun teknik pembuatan lukisan ini belum pernah populer, Tresno telah membuktikan bahwa kreativitas baru ini bisa diterima oleh khalayak. Tresno tampak percaya diri dengan karyanya dan terus menghasilkan karya baru setiap pekan tanpa menunggu pesanan datang. Hasilnya dia bawa ke Pasar Malam Ngarsapura setiap akhir pekan.

Hasil akhir lukisannya memang sudah tidak menampakkan wujud asli grajen yang digunakan meskipun warnanya masih seperti serbuk kayu. Grajen membuat lukisan tampak timbul dan menimbulkan kesan tiga dimensi. Kesan tiga dimensi itu makin kuat dengan hadirnya beberapa unsur yang dibuat dari akar wangi, seperti manusia, becak, tiang, gubuk, rumah dan pepohonan.

“Itu hasil dari eksplorasi yang terus-menerus. Kalau saya menyebut ini aliran impresionis, soalnya saya mengandalkan kontras warna,” terang Tresno. Kontras warna memang menjadi andalannya. Hal ini bukan tanpa alasan karena sifat grajen yang hanya memiliki satu warna. Artinya, Tresno hanya bisa mengandalkan grajen untuk menunjukkan gelap terang sebuah objek. Objek lukisannya pun tampak menyesuaikan diri. Lukisannya lebih banyak bercerita tentang kampung, gubuk, Solo tempo dulu dan objek klasik lainnya. Grajen menuangkan warna kayu yang memperkuat kesan kuno dan klasik pada objek-objek itu.

Sumber : www.solopos.com

Kaligrafi Dari Pelepah Pisang

Sebagian orang mungkin menganggap pelepah pisang tak punya manfaat. Padahal dengan sedikit sentuhan seni, seniman bisa menyulap pelepah pisang menjadi lukisan kaligrafi yang unik dan bernilai tinggi. Beberapa perajin yang memanfaatkan pelepah pisang menjadi lukisan kaligrafi ini pun menangguk omzet hingga puluhan juta setiap bulan.

Tanah Indonesia yang subur, cocok bagi pertumbuhan beragam tanaman. Tak terkecuali tanaman pisang. Selain diambil buah dan daunnya, pohon pisang juga bisa menghasilkan karya seni bernilai tinggi. Yakni, dengan memanfaatkan pelepah pisang menjadi bahan lukisan kaligrafi.

Adalah Suhendra Suharto, salah satu seniman yang menggunakan pelepah pisang sebagai bahan baku lukisan kaligrafinya. Pria 41 tahun asal Bogor ini mulai membuat kaligrafi dari pelepah pisang sejak 2007 lalu. “Selain mengurangi sampah, penggunaan pelepah pisang bisa menjadi sumber penghasilan,” tegas Suhendra yang memberi merek kaligrafinya Cahaya Ilahi.

Menurut Suhendra, lukisan kaligrafi dari pelepah pisang terlihat lebih indah karena memiliki kesan tiga dimensi. Selain kesan alami yang menonjol, lukisan ini akan tampak lebih nyata bila dipandang.

Tak heran, harga lukisan kaligrafi ini lumayan mahal. Suhendra membanderol lukisan kaligrafinya mulai dari harga Rp 600.000 hingga Rp 2,5 juta, tergantung ukurannya.

Dalam sebulan, ia bisa menjual antara 20 hingga 25 lukisan. Dari kerajinan ini, Suhendra bisa menangguk omzet Rp 25 juta dengan untung berkisar 20%-25%.

Konsumen kaligrafi Suhendra berasal dari kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Balikpapan hingga Medan. Ia juga mulai mengirim ke Malaysia dan Singapura sejak tahun lalu meski belum secara rutin.

Untuk menarik konsumen, Suhendra juga melayani pemesanan ayat atau surat dalam Al Quran dari pelepah pisang. Biasanya, pesanan ini memiliki harga khusus, sesuai dengan tingkat kerumitan dan ukurannya. “Rata-rata lebih mahal 15% hingga 30%,” ujar Suhendra.

Ia mengumpulkan bahan baku dari pengumpul pelepah pisang di sekitar Bogor. Pelepah pisang itu kemudian dijemur untuk meniadakan kandungan air. Setelah kering, pelepah diremas-remas agar mudah dibentuk dan kemudian ditempel dengan lem di media lukisan, yakni papan tripleks.

Lukisan kaligrafi yang sudah selesai kemudian dilapisi dengan vernis. Dengan pelapisan tersebut, Suhendra menjamin lukisannya mampu bertahan hingga 20 tahun.

Seniman yang juga membuat kaligrafi dari pelepah pisang adalah Budie Setiawan. Sejak 1996 silam, Budie yang juga asal Bogor ini telah mendalami kerajinan ini.

Tak hanya kaligrafi, Budie juga mengerjakan berbagai macam objek gambar yang dirangkainya dari pelepah pisang yang telah mengering.

Ia mendapat inspirasi kerajinan tersebut dari sang kakak yang telah membuat kerajinan pelepah pisang sejak tahun 1986. “Saya tertarik karena saat itu kerajinan tersebut masih langka,” ujar Budie. Ketika mengawali usaha lukisan ini, Budie hanya bermodal duit sebesar Rp 500.000 saja.

Kini, Budie di studio kaligrafi dengan merek Debog Art di Cibadak, Sukabumi, bersama tiga pekerja banyak mengerjakan pesanan lukisan kaligrafi. Ia mengerjakan satu lukisan pelepah pisang ini dengan waktu dua hari hingga satu minggu. “Saya menghasilkan antara 10 hingga 20 lukisan kaligrafi dalam sebulan,” ujarnya. Namun, jika ada pameran, Budie akan menyiapkan lukisan pelepah pisang ini hingga ratusan buah dalam sebulan.

Dengan mengikuti berbagai macam pameran tersebut, ia mengaku bisa menambah penjualan karyanya. Jika dalam bulan-bulan biasa, ia bisa mendapatkan omzet hingga Rp 8 juta, jika memajang karyanya di pameran, omzetnya pun bisa berlipat hingga Rp 15 juta.

Itulah sebabnya, Budie pun aktif mengikuti pameran, seperti InaCraft, Pekan Raya Jakarta (PRJ), serta juga pameran di beberapa mal di wilayah Jabodetabek. Harga yang ia patok berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 3 juta per unit. “Harganya tergantung ukuran dan tingkat kesulitan,” ujar Budie.

Sumber : Kontan.co.id

Kerajinan Cantik Dari Bonggol Jagung

Selain dikenal sebagai kota hujan, Bogor merupakan kabupaten yang populer dengan beragam jenis produk asinannya. Mulai dari asinan buah, asinan sayur, sampai asinan jagung dapat Anda temukan di kota tersebut. Potensi inilah yang dimanfaatkan Eddie Juandi seorang pengrajin dari kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bila masyarakat lainnya memanfaatkan asinan bogor sebagai peluang bisnis, lelaki paruh baya ini memanfaatkan limbah bonggol jagung yang diperolehnya dari sisa pembuatan asinan untuk memproduksi aneka macam kerajinan cantik.

Memiliki latar belakang sebagai pengrajin aneka kerajinan kayu, mendorong Eddie untuk berinovasi dengan menggunakan bahan-bahan lain. Melihat saat ini isu global warming sedang ramai dibicarakan masyarakat, hati Eddie pun tergerak untuk berinisiatif memanfaatkan limbah organik sebagai bahan baku utamanya dalam memproduksi beragam kerajinan. Sebab selain ramah lingkungan, limbah organik seperti bonggol jagung sangat mudah didapatkan di daerah Bogor. Sehingga Eddie tidak pernah kesulitan mendapatkan persediaan bahan baku untuk memproduksi karya-karyanya.

Berkat tangan kreatif Eddie, bonggol jagung yang tidak berguna kini berhasil disulap menjadi aneka kerajinan cantik yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Misalnya saja seperti lampu hias, kap lampu, sketsel, tatakan gelas, tempat tisu, anyaman tas, serta masih banyak lagi produk unik lainnya. Dengan kreatifitas yang cukup tinggi, tidaklah heran bila harga produk kerajinan Eddie laku di pasaran dengan harga cukup mahal. Yaitu berkisar antara Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan masing-masing produk.

Proses Produksi Kerajinan Bonggol Jagung

Bertempat di showroom miliknya yang beralamatkan di Jalan Pembangunan 2 No. 42 Kedung Halang, Bogor, Jawa Barat. Setiap harinya Eddie memproduksi beragam jenis kerajinan setelah mendapatkan limbah bonggol jagung dari pasar-pasar tradisional yang ada di sekitar Bogor. Sesampainya di showroom, bonggol jagung tersebut pertama-tama dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan. Setelah kering, Eddie menambahkan bahan pengawet khusus agar bahan bonggol jagung dapat bertahan lama.

Selanjutnya setelah bonggol jagung ditambahkan bahan pengawet, Eddie membentuk bonggol jagung menjadi lingkaran-lingkaran kecil dengan bantuan cetakan atau krom yang biasa digunakan sebagai cetakan kayu. Setelah bonggol jagung dicetak menjadi lingkaran-lingkaran kecil dengan berbagai ukuran, Eddie mulai menyusun lingkaran tersebut pada kreasi kerajinan yang telah dibentuknya, dengan menggunakan bantuan lem. Meskipun proses produksi kerajinan Eddie masih terbilang manual, namun hasilnya pun tidak kalah bagus dengan produk kerajinan buatan pabrik yang diproduksi dengan mesin-mesin modern.

Hal ini membuat Eddie semakin yakin bila produk kerajinan limbah bonggol jagung yang diproduksinya dapat diterima pasar dengan baik dan mimpi besarnya untuk mengekspor produk hingga mancanegara dapat segera tercapai. Semoga kreatifitas dan inovasi Eddie Juandi dalam menciptakan produk kerajinan unik dapat menjadi inspirasi bagi kita semua. Selamat berkarya, jangan pernah lelah mencoba dan salam sukses.

Sumber artikel : Bisnis UKM
Gambar         : Bumntrack dan Liputan6

Manfaatkan Limbah Kelapa Jadi Perabot Menarik

Purworejo – Glugu (batang kelapa) dan bathok (tempurung kelapa) mungkin bagi sebagian orang merupakan limbah yang tidak berguna dan tidak bisa dimanfaatkan. Tapi Sumirah (48), seorang ibu empat anak, berhasil menyulap limbah glugu dan tempurung kelapa menjadi kerajinan perabot rumah tangga yang tidak hanya fungsional tapi juga indah dipandang.

Ketika ditemui di rumahnya di Pangenrejo RT 02/RW 05, semula di tahun 2009, Sumirah hanya memanfaatkan sabut kelapa untuk membuat sapu dan keset, tapi karena kerajinan sapu dan keset sudah menjamur, maka persaingan usaha dirasa semakin ketat. Sumirah mulai berpikir untuk melirik ke kerajinan lain yang lebih unik, sehingga kompetitor yang harus dihadapi pun lebih sedikit.

Beruntung September 2010, Sumirah dan beberapa rekannya yang tergabung dalam kelompok usaha pengrajin “Subur Makmur” di Kelurahan Pangenrejo mendapat pelatihan dan yang didanai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MD). Bekerja sama dengan Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta pada Kementerian Perindustrian RI, Sumirah dan rekan-rekannya yang berjumlah 40 orang mulai mendapat pelatihan selama satu minggu. Mereka diajar bagaimana mengolah limbah glugu dan bathok menjadi kerajinan rumah tangga yang komersial.

Hasil dari pelatihan itu kini berbuah manis, Sumirah berhasil membuat berbagai kerajinan perabot rumah tangga yang menarik. Seperti, baki, meja kecil, tempat lampu, meja consol, lampu hias, asbak, tempat tissue dan pigura. Semua barang-barang tadi terbuat dari glugu.

Untuk mempercantik, ia memberikan motif dengan pecahan batok kelapa. Caranya batok kelapa dipecah kecil-kecil, bemudian di rekatkan pada parabot yang telah dibuatnya dengan lem. Untuk membentuk motif yang diinginkan, dilakukan dengan memanfaatkan warna yang ada pada batok. Misalnya bila menghendaki warna gelap, menggunakan batok kelapa yang kering, demikian sebaliknya bila menghendaki warna cerah, memanfaatkan batok kelapa basah.

Setelah itu, baru diamplas hingga rata dan halus. Memasuki tahap finishing, perabot yang sudah jadi diangin-anginkan saja, untuk menghindari agar bahan tidak pecah. Setelah itu baru diplitur atau divernis.

Harga dari hasil kerajinan Sumirah ini pun bervariasi dari mulai Rp50.000, untuk baki dan asbak, hingga Rp110.000, untuk meja lampu dan meja consol. Selain melayani pembelian dan pemesanan barang kerajinannya dirumahnya, Sumirah juga menyalurkan hasil kerajinannya ke sekolah-sekolah dan ke pasar-pasar.

Namun dibalik usahanya yang mulai berkembang, Sumirah masih mengalami beberapa hambatan masalah permodalan dan pemasaran. Oleh karena itu, hingga saat ini Sumirah hanya membuat kerajinan jika ada pesanan kerajinan glugu dan bathok. Tetapi untuk kerajinan seperti sapu, keset dan matras, Sumirah masih memproduksi secara kontinyu, karena dia harus menyediakan stok barang untuk beberapa pelanggan tetapnya.

Kepala Kelurahan Pangenrejo, Rubino, ketika ditemui di kantornya menginformasikan bahwa di wilayahnya dengan jumlah penduduk hampir 4.850 an jiwa terdiri dari 1.385 kepala keluarga (KK). Mereka berdomisili di 7 RW, 16 RT. Terdapat empat industri rumah tangga sekala kecil, dengan melibatkan sekitar 65 tenaga kerja. Mereka begerak dibeberapa bidang usaha seperti pembuatan tempe, jenang/wajik, cilok, kue lompong, dan kerjinan.

Untuk kerjinan, awalnya membuat tas berbahan baku enceng gondog. Namun bahan semakin sulit diperoleh yang berujung melambungnya harga bahan baku. Gayung pun bersambut, tahun 2010 ada PNPM MD yang salah satu itemnya pelatihan sebesar Rp 20 juta. Kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk memberikan pelatihan kepada 40 orang warga, bekerja sama dengan BBKB Yogyakarta.

Untuk membantu pemasaran, pihaknya menjalin koordinasi dengan para kepala kelurahan/desa palang gedang. Isinya, apabila membutuhkan bisa membeli di kelompok tersebut. Terkait permodalan, ia hanya bisa menyalurkan ke dinas terkait, seperti Disperindagkop.

Disamping itu, ketua kelompok, Sunaryo, telah menjalin kerja sama dengan beberapa UPTD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di beberapa kecamatan dan sekolah. Pihaknya akan melayani berbagai keperluan sekolah seperti sapu, keset, matras, serta kebutuhan kerajinan lainnya.

Sumber : Indonesia To Day

Menyulap Limbah Rumah Tangga Menjadi Kerajinan Bernilai

Kulit bawang putih, bawang merah, kulit salak hingga putung rokok dianggap sebagai barang tak berharga. Tapi limbah rumah tangga ini bisa menjadi buah tangan nan cantik dan bernilai ekonomis ditangan Rr Sulistyawati (64). Setiap ibu rumah tangga yang mengupas bawang merah dan bawang putih pasti akan membuang kulit hasil kupasan itu. Pun demikian halnya dengan penikmat buah salak, kacang yang kulitnya tentu saja segera dibuang bila selesai dimakan. Bagi perokok, tentu yang bermanfaat adalah asap dari tembakau yang dibakar, bukan putung rokoknya.

Tapi berbagai limbah atau sampah ini bisa berubah menjadi bernilai jual tinggi bila kreatif memanfaatkannya.
Hal inilah yang dilakukan Rr Sulistyawati, bahkan hasil kerajinan putung rokok yang berbentuk bunga karya warga Jalan Teluk Etna VI/75, Arjosari, Kota Malang ini pernah dikirim hingga ke Swis, Belanda. Setidaknya 36 bahan baku limbah seperti kulit bawang merah dan putih, kulit salak, kulit bengkuang, kulit kacang, biji bunga matahari, putung rokok, biji cabe, biji kurma, serutan kayu dan lainnya. Limbah ini disulap menjadi kerajian berbentuk rangkaian bunga di dalam pigora. “Saya hanya melihat banyak limbah rumah tangga yang terbuang itu bisa dimanfaatkan menjadi sebuah karya yang indah,” kata Sulis, demikian dia biasa dipanggil.

Sulistyawati awal kali pertama memanfaatkan limbah rumah tangga ini pada 1997 silam. Saat itu kulit bawang putih untuk kebutuhannya memasak disulapnya menjadi handycraft. Bahkan, dia tak segan limbah dari kulit bawang atau lainnya dari pasar. Sampai dia dikenal sebagai ibu sampah karena aktivitasnya itu. Selain dari mengambil di pasar, banyak juga kerabatnya yang memberi limbah untuk kebutuhan bahan baku. Perlahan tapi pasti, hasil karyanya mencapai puluhan dan kemudian sempat dipamerkan tunggal pada 2003 silam dengan bantuan sebuah lembaga pengabdian masyarakat (LPM) dari sebuah perguruan tinggi. Selepas pameran itulah, animo masyarakat untuk memiliki hasil karya Sulis sangat tinggi. “Tidak pernah ada bantuan dari Pemkot Malang yang saya terima untuk mengembangkan usaha ini. Bahkan sekedar untuk promosi saja juga tak ada yang membantu dari instansi pemerintah,” tukas Sulis yang belajar secara otodidak untuk membuat hasil karyanya ini.

Click to enlarge

Produk berbahan baku kulit bawang dan sejenisnya ini menurut Sulis, dicuci dan direndam dengan kapur barus. Setelah tiga hari, lalu dijemur dan dipotong-potong sehingga tahan lama. Sementara untuk membuatnya, tak ada pola ataupun gambar, murni mengandalkan imajinasi dalam pikiranya. Dari setidaknya kulit bawang sebanyak 1 kantong kresek berukuran besar setelah dipilah, mampu menghasilkan 2 karya.

Bermodal imajinasi inilah terangkai model bunga mawar, anggrek dan bunga lainnya. Bunga tersebut dibikin dengan latar hitam dan pigura kuning keemasan. Hasilnya tak jauh beda dengan aslinya. Sudah tak terhitung berapa karya yang dihasilkan oleh Sulis, bahkan pada era 2007 hingga 2009 berbagai karyanya ini diambil oleh pemilik galeri di Bali. “Saat itulah banyak wisatawan mancanegara yang berminat membeli karya saya. Bahkan ada wisatawan dari Jepang yang meminta hingga 12 karya dengan model serupa. Saya tak bisa menyanggupinya karena diminta selesai dalam beberapa bulan saja,” tutur Sulis yang membuat sendirian tanpa bantuan orang lain ini.

Ketidakmampuan Sulis memenuhi permintaan ini karena bila sedang bagus feeling-nya, 3 karya bisa diselesaikan dalam 2 minggu. Namun bila feeling sedang tidak bagus, 1 karya bisa selesai dalam 1 bulan. Sementara karyanya ini terdiri dari setidaknya 7 ukuran, mulai dari terkecil 30×30 sentimeter hingga yang paling besar berukuran 1×1 meter. Untuk ongkos produksi, menurut Sulis setiap karya menghabiskan minimal Rp 100 ribu – Rp 200 ribu.

Sementara harga jualnya mulai dari Rp 350 ribu – Rp 1 juta, tergantung tingkat kerumitan dan ukurannya. Sulis sendiri ingin memiliki galeri yang berfungsi sebagai tempat pameran sekaligus balai pelatihan. Karena banyak masyarakat yang ingin belajar tapi terkendala fasilitas. Selain itu untuk promosi juga minim dukungan dari instansi terkait. “Padahal saya melihat banyak limbah rumah tangga yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Ini juga untuk membantu mengurai masalah sampah dan ekonomi masyarakat juga,” tandas wanita yang mendapat anugerah Social Worker dari majalah TIME ini.

 

 Sumber : Kutublain

Jeli Memetik Bisnis Sandal dari Limbah Kelapa

Kejelian menangkap bisnis kerap kali membuat orang sukses menjadi wirausahawan. Hal ini lah yang dialami oleh Unardi perajin sandal dari limbah tempurung kelapa asal Purbalingga, Jawa Tengah.

Unardi mengungkapkan, ide membuat sandal tempurung kelapa muncul begitu saja. Inspirasinya berawal saat melihat potongan sisa tempurung yang telah dibuat berbagai macam kerajinan. Daripada potongan tempurung kecil-kecil tidak dipakai, ia lantas dimanfaatkan dengan cara dirangkai secara vertikal dan direkatkan dengan rem.

”Kebanyakan pesanan sandal tempurung untuk souvenir. Selain itu juga sejumlah pedagang dari luar kota seperti dari Bali, Jakarta dan Bandung, memesan sandal tempurung dari kami,” kata Unardi, Jumat (08/04/2011).

Selama ini alas kaki sandal kebanyakan dibuat dari karet atau bahan plastik. Produk milik Unardi ini justru memiliki ciri khas tersendiri, sehingga tak heran sandal Made in Purbalingga ini laris manis di banyak kota di Tanah Air.

Sandal ini ternyata diminati konsumen dari luar kota seperti Jakarta, Bandung dan Bali. Sementara di penjualan lokal, tidak begitu banyak dikenal. Bisa jadi, sandal tempurung buatan Purbalingga ini justru tidak banyak diketahui jika orang berasal dari Purbalingga.

Unardi menuturkan meski berbahan dasar sebagian besar dari tempurung kelapa, namun bagian alas sandal tetap menggunakan bahan karet atau plastik, sesuai selera konsumen. Sementara bagian pengikat kaki, juga sama dengan sandal lainnya. Tempurung hanya digunakan pada pelapis alas sandal.

Harga sepasang sandal ini juga tidak begitu mahal, cukup merogoh Rp 25.000, anda sudah bisa membawa pulang sepasang sandal unik ini. Harga itu berlaku untuk jenis sandal ukuran apa saja.

”Kami juga terus didorong oleh Disperindagkop Kabupaten Purbalingga untuk terus membuat produk-produk yang unik dan belum ada di masyarakat. Seperti sandal tempurung, juga meja tempurung, tempat tisue, kap lampu, asbak, tempat minuman dan sejumlah produk lainnya,” katanya.

Ketua kelompok pengrajin tempurung ‘Manunggal Karya’ Sutrisno mengatakan kini ia memiliki 42 orang anggota. Setidaknya ada 34 macam hasil kerajinan yang diproduksi dan dijual ke pasaran di sejumlah kota besar.

Hasil kerajinan ini sebagian besar untuk keperluan rumah tangga seperti irus, centong, sendok kayu kelapa, piring kayu, ciri dan penghalus sambal, jam tempurung dan sebagainya. Bahan dasar yang digunakan selain limbah tempurung, juga potongan kayu kelapa (glugu), dan potongan kayu melinjo.

”Kami secara terus menerus mendapat dukungan promosi dari Pemerintah Kababupaten Purbalingga melalui Disperindagkop Kabupaten Purbalingga, dan juga melalui Bank Jateng,” kata Sutrisno.

Unardi

Alamat:

Kelurahan Purbalingga Wetan, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Sumber : Finance Detik & Pelayanan Masyarakat