Kaligrafi Tiga Dimensi dari Limbah Kayu

Bermula saat melihat banyak kayu-kayu jati gelondongan yang bolong di Cianjur Selatan, Jawa Barat, Iwan Rio menemukan ide untuk memanfaatkan limbah-limbah itu. “Tadinya, kita mau bikin pot bunga, soalnya buat mebel tak memungkinkan, kayu bolong itu tidak bisa,” kata Iwan di Cianjur, baru-baru ini.

Namun, Iwan mempunyai ide lain untuk memanfaatkan limbah kayu itu, yaitu membuat seni kaligrafi. “Akhirnya kita eksperimen satu dan ternyata peminatnya banyak,” ucap Iwan.

Iwan mengaku membuat kaligrafi berdasarkan karakter kayu. “Baru saya bikin desainnya,” ujar Iwan. Kaligrafi-kaligrafi yang dibuat Iwan kebanyakan asma-asma Allah atau surat-surat pendek.

Biasanya, setelah desain selesai dibuat, kayu langsung dipahat. Bahkan, kayu harus dibikin bolong. “Untuk memperkuat kesan tiga dimensi,” ujar Iwan.

Menjalankan bisnis seni kaligrafi tidaklah mudah. Iwan mengaku memiliki kendala, salah satunya adalah tenaga ahli. “Ini kan kolaborasi antara seni dan agama, kalau salah tulis atau pahat artinya berbeda,” kata Iwan. Meski begitu, ia berharap hasil karya seni kaligrafinya bisa tembus ke pasar Timur Tengah.

Keunggulan seni kaligrafi hasil karya Iwan mempunyai keunggulan dari seni kaligrafi lainnya. Selain tiga dimensi, kaligrafi yang dibuat berasal dari limbah kayu dan ramah lingkungan. “Selain itu unik dan tidak kembar karena kita mengikuti karakter kayu,” kata ucap Iwan.

Iwan mengaku senang dengan bisnisnya ini. Sebab, ia bisa memanfaatkan limbah kayu yang tadinya tak berarti menjadi berarti. Selain itu, pria yang mengaku mudanya badung ini bisa menitipkan pesan agama di setiap karyanya. “Soalnya saya tidak bisa berdakwah,” tutur Iwan. Dan ketiga adalah bisnis.

Sumber: liputan6

“Menyulap” Limbah Kayu Jadi Kapal Layar

Dengan memanfaatkan limbah usaha mebel kayu jati, Purwanto membuat kerajinan kayu berupa minatur rumah adat dan kapal layar. Kreasinya itu tergugah setelah melihat limbah-limbah kayu jati di Ibukota.

“Tergugah melihat itu limbah-limbah (kayu jati). Sayang kalau cuma (dipakai) untuk kayu bakar,” ungkap Purwanto kepada Kompas.com, di Jakarta, Jumat (3/6/2011) lalu.

Dengan kayu bekas ini, modal usaha yang dibutuhkan Purwanto pun tidak terlalu besar. Kayu yang diperolehnya seharga kayu bakar. Sekali pun harus memilah kayu-kayu yang layak dipakai, ia tetap berusaha mengoptimalkan penggunaan kayu bekas yang diperolehnya. Mengolah kayu menjadi sebuah kerajinan sebenarnya telah dimulai Purwanto dengan membuat gitar. Akan tetapi, sejak enam bulan lalu, ia beralih ke pembuatan kerajinan kayu lainnya, seperti rumah mini dan kapal layar. Peralihan ini karena  bahan baku membuat gitar yang semakin mahal. Meski sudah mahir membuat gitar, ia mengaku tetap membutuhkan sejumlah percobaan dalam membuat miniatur ini.

“Risiko untuk pengrajin. Kita butuh waktu untuk design, banyak melihat gambar. Jadi, tidak sekali buat langsung sempurna,” ujarnya.

Awalnya, ia memulai membuat gantungan kunci, yang dilanjutkan dengan membuat kapal layar dan miniatur rumah adat. Saat ini, ia menyebutkan, pesanan belum terlalu banyak. Dalam seminggu, ia pun dapat membuat tiga miniatur kapal layar.

“Kalau pengerjaan satu kapal, bisa empat hari. Cuma kalau sekali pengerjaan, misalnya, membuat lima kapal, maka satu kapal bisa memakan waktu dua hari,” tambahnya.

Purwanto mengaku masih mengerjakan semuanya sendiri dengan dibantu oleh beberapa pekerja. Hal positifnya lainnya yang ia lakukan dengan usahanya ini, ia memberdayakan anak-anak yang saat ini masih bersekolah.

“Kebanyakan masih sekolah. Pulang sekolah, saya ajarin,” ungkapnya.

Untuk usaha ini, ia belum berani mempekerjakan pekerja tetap karena pesanan yang belum berlanjut. “Makanya, saya pingin Madiun punya ciri khas. Kalau makanan kan sudah ada, tapi untuk kerajinan belum,” sebutnya.

Ia melihat potensi Madiun untuk mengembangkan usaha kerajinan, karena tersedianya bahan baku kayu jati yang masih banyak. Mengenai biaya untuk membuat satu miniatur kapal layar berukuran satu meter, ia menyebutkan bisa mencapai sekitar Rp60.000-Rp70.000. Kapal dengan ukuran itu dapat dijualnya dengan harga Rp350.000-Rp500.000 per buahnya. “Yang penting limbah kayu, tidak musti kayu jati,” tuturnya.

Purwanto belum bisa menyebutkan berapa omzet yang diperoleh dengan alasan pembelian yang belum kontinu. “Sekarang ini, saya menganggapnya perkenalan dululah,” jelasnya.

Ia berharap dapat mengikuti sejumlah pameran untuk memasarkan produknya. Hal yang penting dengan usahanya ini, ia bisa mengoptimalkan limbah-limbah kayu dan mengajari sejumlah siswa untuk membuat kerajinan, yang diharapkannya akan menjadi kerajinan khas Madiun kelak.

Sumber: Kompas

Miniatur Rumah Adat Mamasa Tembus Pasar Amerika

Bonggamalona, warga Desa Rantekatoan, Kecamatan Mamasa, Sulawesi Barat, sehari-hari menekuni kerajinan pembuatan miniatur rumah adat banua sura atau rumah ukir khas Mamasa.

Berawal dari keprihatinan makin tergerusnya perhatian masyarakat terhadap rumah adat Mamasa, pria paruh baya ini sejak 10 tahun terakhir menggeluti profesi sebagai pembuat miniatur banua sura dari limbah kayu bekas yang sudah dibuang.

Dengan tekun ia menyusun rangkaian kayu hingga berbentuk miniatur rumah adat khas Mamasa. Selain memanfaatkan limbah kayu bekas, Bonggamalona juga menggunakan bahan-bahan alami agar rumah adat miniatur buatannya benar-benar menyerupai aslinya.

Seperti pada proses pengecatan, ia menggunakan tanah liat berwarna yang mudah ditemukan di wilayah Mamasa. Karena hanya dilakoninya sendiri, satu buah miniatur dirampungkan Bonggamalona lebih kurang satu bulan. Untuk satu buah rumah adat, Bonggamalona mematok harga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta tergantung ukurannya.

Dengan hanya mengandalkan peralatan konvensional, hasil buah tangannya sudah menembus pasar lokal dan juga internasional. Tak sedikit wisatawan mancanegara tertarik dengan miniatur rumah adat Mamasa. Miniatur rumah adat karya Bonggamalona juga sudah “terbang” ke Amerika Serikat serta negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, dan Perancis. Untuk pasar nasional, hasil kerajinannya banyak dijual di Bali dan Jakarta.

“Saya bangga karena karya saya tidak hanya diminati masyarakat lokal Indonesia, tetapi juga para turis. Warga Amerika pernah memesan miniatur rumah adat untuk dibawa pulang,” ujar Bonggamalona.

Meski hasil kerajinan Bonggamalona sedikit lebih mahal dari perajin miniatur rumah adat lainnya di Kabupaten Mamasa, sejumlah konsumen tetap memilih memesan di tempatnya. Hal itu karena miniatur rumah adat buatan Bonggamalona dinilai lebih orisinil dan filosofi bentuk rumahnya tetap terjaga seperti aslinya.

“Saya suka karena mirip bentuk aslinya. Filosofi bentuk dan ornamen rumahnya juga masih tetap terjaga seperti aslinya,” ujar Federick Depparaba, seorang konsumen yang sedang mengecek pesanannya.

Namun, meski pesanan melimpah, usaha Bonggamaloba justru jalan di tempat lantaran ia tak punya modal untuk mengembangkan kerajinan khas Mamasa ini. Bonggamalona hanya bisa memproduksi paling banyak dua buah miniatur rumah Mamasa dalam sebulan.

Kekurangan modal membuat usaha yang sudah puluhan tahun ini semakin tersisih dan terancam gulung tikar. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk mendukung usahanya juga menjadi kendala lain Bonggamalona memenuhi permintaan pelanggan.

Sepatutnya usaha yang berpotensi mengangkat roda perekonomian daerah mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten Mamasa.

Sumber :Kompas.com

Berkat Limbah Kayu Raup Puluhan Juta

Bagi sebagian orang, kayu sisa bangunan hanya dianggap sampah tidak bermanfaat. Namun, tidak demikian bagi Yoga Suratmoko. Di tangannya, kayu bekas bangunan yang sudah tidak terpakai dapat berubah menjadi suatu hasil karya yang unik dan menarik serta memiliki nilai jual tinggi.

Berbekal dengan menggunakan sebuah alat yang bernama pisau penyot dan kayu putih sebagai bahan utama, Yoga Suratmoko dibantu temannya, yakni Yuni Tri Purwanto, berhasil menciptakan sebuah kerajinan tangan yang menarik dan membuat decak kagum bagi masyarakat yang melihatnya.

Awal mula Yoga menekuni kerajinan dari bahan baku kayu putih adalah pada saat dirinya bekerja di pabrik kayu lapis. Setiap hari ia melihat kayu lapis hasil olahan dibuang begitu saja. Dari situ, Yoga mulai berpikiran bagaimana caranya supaya kayu bekas tersebut tidak terbuang sia-sia.  “Waktu bekerja di pabrik kayu itu, saya iseng membuat sesuatu dari kayu sisa. Setiap hari saat istirahat kerja, saya gunakan untuk membuat gantungan kunci. Tidak disangka teman saya tertarik dengan hasil itu,” ceritanya.

Selang tidak lama, pabrik tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan. Terpaksa suami dari Kuntiati ini harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Berbekal darah seni yang telah mengalir dalam dirinya, ia berinisiatif mengembangkan hasil karyanya yang terbuat dari kayu sisa bekas bangunan tersebut.

Setelah berhasil membuat olahan kayu menjadi gantungan kunci, ia terus berupaya lebih mengasah kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang lebih unik. Dirinya dibantu dengan beberapa teman yang tergabung dalam KUB Ampel Handycraft yang beralamat di Jalan Sunan Ampel 5 RT 03 RW 2, Kota Magelang, ini mencoba menciptakan kerajinan tangan yang berbentuk serangga. Ide tersebut ia peroleh dari lingkungan sekitar.

Pria asli Magelang ini akhirnya berhasil membuat miniature serangga dari kayu putih sisa bangunan yang sudah tidak terpakai. Waktu itu, kerajinan yang benar-benar hanya menggunakan tangan tersebut tidak langsung dijual di pasaran. “Jika ada teman yang tertarik membeli, ya kami langsung berikan,” katanya yang diamini oleh temannya.

Mendapatkan sambutan positif, memicu pria kelahiran 22 April 1969 itu untuk terus mengasah keahlian yang dimiliki. Lambat laun, naluri seninya mampu terasah dengan baik. Terbuki dengan banyaknya hasil karya yang telah ia ciptakan. “Jika dihitung-hitung, ya sudah ada 200 lebih kerajinan yang sudah saya ciptakan selama lima tahun,” katanya yang berharap suatu saat ingin membuka galeri sendiri itu.

Seiring dengan perkembangannya, Yoga dibantu dengan 10 temannya, yang juga merupakan warga Ganten, mulai mendapatkan pesanan setiap hari. “Jika saya lakukan sendiri pastinya tidak sanggup, makanya saya ajak Mas Yuni cs untuk membantu,” ujarnya.

Saat ini ia bersama temannya mampu membuat kerajinan berupa burung elang, berbagai macam serangga, dan sosok cerita anak, salah satunya Hulk.

Hingga saat ini ia telah menerima pesanan dari berbagai kalangan. Omzet yang dihasilkan tiap bulan pun dapat berkisar hingga puluhan juta rupiah. Pasalnya, dalam membuat satu macam hasil karya berupa burung elang, dihargai sekitar Rp 3,5 juta. Sementara itu, untuk penyelesaiannya diperkirakan memakan waktu dua minggu. Untuk kerajinan berwujud naga sekitar Rp 4 juta.

Harga tersebut tergantung dari tingkat kesulitan saat membuat dan ukuran juga sangat memengaruhi nilai jualnya. “Ya alhamdulilah hasil penjualan dapat digunakan untuk beli rokok dan makan sehari-hari,” candanya yang tidak mau menyebutkan secara pasti berapa pasti omzet yang didapat setiap bulan.

Sumber: kompas.com

Menyulap Kayu Bekas Menjadi Produk Berkelas


Profil Pengrajin Prototipe Harley Davidson Besar Pertama di Dunia

Meskipun pada awalnya ditentang keras oleh anak-anaknya, pak Widodo tetap bersikeras untuk membuat prototipe motor harley davidson dengan ukuran sesuai aslinya. Anaknya, mas Eko dan mas Jono yang sehari-hari membantu ayahnya membuat handicraft prototipe harley ukuran kecil berbagai model, berfikir terlalu sayang membuang-buang bahan kayu karena belum tentu laku di pasar. Sementara dengan hasil produk yang sedang berjalan, membuat berbagai kerajinan ukuran kecil, mereka sudah mulai menikmati hasil yang lumayan.

Dengan bantuan setengah hati dari anak-anaknya dan dibantu juga oleh dua karyawannya, pak Widodo akhirnya dapat menyelesaikan enam buah harley dari potongan kayu sisa. Tantangan berat berikutnya adalah memasarkannya, karena harga per produknya yang terhitung mahal. Momentum perayaan pernikahan anaknya menjadi ajang promosi moge (motor gede) berwarna kayu yang mengkilap itu. Dengan posisi rumahnya yang strategis di pinggir jalan, keenam moge itupun ikut nongkrong di depan rumah menjadi salah satu dekorasi yang tidak lazim pada pesta pernikahan pada umumnya.

Hasil dari pameran amatir dadakan itupun membuahkan hasil yang menggembirakan. Para tamu undangan dan pengguna jalan di depan rumahnya pun mulai berdecak kagum. Satu tamu istimewa yang tidak diundangpun akhirnya datang juga. Seorang buyer dari Perancis yang sedang lewat menyempatkan turun dari kendaraannya untuk singgah setelah melihat sederetan moge coklat itu. Tentu saja bukan untuk ikut resepsi. “Bule bercelana pendek dan berkaos oblong itu tiba-tiba ikut masuk dan bersalaman dengan Bapak serta menyatakan minatnya untuk membeli harley. Akhirnya dia menjadi buyer pertama untuk harley besar kami”, kenang mas Hari.

Pada awal pembuatannya, tahun 2004, sebuah harley besar itu bisa dijual seharga Rp 20 jutaan. Tapi seiring dengan makin banyaknya produk yang diedarkan, per unitnya saat ini hanya bisa dijual seharga Rp 11 jutaan. Meskipun harganya turun, pak Widodo masih dapat mengantongi keuntungan yang cukup mengingat bahan baku yang dugunakan adalah kayu sisa mebel yang murah. Pengerjaanya juga tergolong cepat, yaitu per unit dapat diselesaikan rata-rata dua minggu oleh dua orang tukang.

Tak puas dengan prototipe harley besar yang masih kasar, mulailah keluarga ini membuat harley yang lebih sempurna yang sama persis dari setiap ukuran detilnya dan asesoris yang ada. Untuk menyempurnakan hasil karyanya, tidak segan-segan mereka merogoh kocek yang tidak sedikit untuk melakukan riset. “Jika ada model yang akan dibikin detil, kami menyewa harley ke orang solo atau boyolali untuk kami bawa pulang”, ujar mas Eko. Untuk bisa menjiplak model sampai selesai, biasanya mereka membutuhkan waktu tujuh hingga sepuluh hari, dengan biaya sewa antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per hari.

Pekerjaan meniru ini tidaklah semudah menjiplak tulisan. Selain membutuhkan waktu lama, ketelitian ekstra juga biaya yang lumayan besar. Apalagi jika contoh yang ingin ditiru tidak mudah ditemukan. Pernah suatu saat ada pesanan dari buyer dari Inggris untuk membuat harley kuno yang saat itu sudah jarang dipakai orang. Setelah meyusuri berbagai showroom dan kolektor moge, akhirnya ditemukanlah barang yang dimaksud di sebuah museum barang kuno di Yogyakarta. Tentu saja harley tersebut tidak bisa diangkut ke Boyolali. Terpaksalah mas Eko menginap beberapa hari di Yogya untuk membuat sketsa motor tersebut, plus harus mengeluarkan Rp 750 ribu untuk membayar fee.

Semangat berinovasi pak Widodo dan keluarga kembali dibuktikan dengan memunculkan produk baru. Kali ini adalah prototipe mobil rollroyce kuno sesuai ukuran aslinya. Produk pertamanya telah selesai dibuat dan dikirimkan ke Inggris pada tanggal 23 Juli 2009, bersamaan dengan kunjungan tim reportase portal PIUMKM ke sana. Harganya juga tak tangung-tanggung, Rp 50 juta per unit. “Yang tidak kami duga sebelumnya adalah beratnya. Mobil tersebut baru bisa diangkat dengan susah-payah oleh 12 orang”, tegas mas Hari. Sementara untuk berat rata-rata harley hanya 150 kg, yang cukup diangkat oleh empat orang.

Pasar untuk moge-nya saat ini sudah sampai ke Afrika Selatan, Inggris, Perancis, dan Amerika Latin. Menjaga kepercayaan buyer dan mitra bisnis adalah salah satu kunci yang dipegang teguh oleh pria berusia 60 tahun beserta anak-anaknya ini. Selain loyalitas dari para buyer, perbankan juga telah memberi kepercayaan penuh untuk mengucurkan kredit. Tantangannya saat ini adalah menata manajemen agar usaha ini menjadi institusi bisnis yang kuat, serta menjaga hak intelektualnya. “Kami sangat mengharapkan bantuan PIUMKM untuk bisa mendapatkan HAKI bagi produk kami”, ujar mas Eko lagi dengan semangat.

Dengan berbekal keterampilan, ketekunan dan semangat berinovasi, pak Widodo dan keluarga yang telah menjalani usaha kerajinannya sejak tahun 1998 ini telah bisa memberi pekerjaan untuk 13 orang karyawannya. Dengan kapasitas produksi 12 unit prototipe moge perbulan, mereka telah dapat memberikan nilai tambah yang signifikan. Mereka telah dapat menyulap seonggok kayu bekas yang tidak bermanfaat bahkan berpotensi mengotori lingkungan menjadi sebuah produk bernilai tinggi yang dapat mengangkat ekonomi lokal. Bahkan sampai saat ini usaha ini diperkirakan masih menjadi satu-satunya di dunia produsen prototipe harley davidson dengan ukuran asli.

Sumber : ppkwu

Lampu Batik Lagi Ngetren

Tren batik berimbas pula di kerajinan lampu. Konsep etnik yang unik membuat lampu ini pas di ruang tamu maupun kamar. Desain dan motifnya bisa disesuaikan dengan keinginan.

Untuk memesan lampu itu tidak terlalu susah. Karena di Surakarta terdapat perajinnya. Setiap malam Minggu, para perajin lampu batik ini menjajakan dagangannya di Night Market Ngarsopuro.

Salah satunya milik Fajar, warga Ngipang, Kadipiro, Surakarta. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 60 ribu–Rp 85 ribu. Pemesanan bisa dilakukan melalui telepon maupun datang langsung ke rumah.

Semua lampunya memang dibuat bermotif batik, sesuai dengan Kota Surakarta, Kota Batik. Tetapi tidak menuntup kemungkinan disini bisa menerima pemesanan sesuai dengan kemauan pembeli.

“Salah satunya seperti konsumen yang mau motif lampunya ada namanya. Itu bisa dibuatkan sesuai pesanan. Model yang ditawarkan mulai dari kotak, segitiga dan lingkaran,” kata Fajar. (tjm)

Lampu Batik Solo
Alamat : Ngipang, Kadipiro
Showroom : Night Market Ngarsopuro
Buka : 19.00–21.00 (malam minggu)
Telepon : 081393681125

Sumber : http://www.koranjitu.com